Friday, 20 June 2008

Pariwisata Akhirnya Diakui sebagai Disiplin Ilmu


Oleh Amir Sodikin (Kompas, 6 Juni 2008)


Pengembangan pariwisata Indonesia selama ini bisa disebut sebagai ”tak ada landasan akademis” yang kuat atau dibangun dengan ”tanpa ilmu”. Akibatnya, kebijakan pariwisata sudah pasti disetir birokrat yang notabene tak memiliki dasar pengetahuan pariwisata mumpuni.Tak banyak orang menyadari, ternyata selama ini pariwisata hanya dianggap sebelah mata, bahkan tak diakui sebagai disiplin ilmu mandiri. Ini bisa menjelaskan, kenapa kualitas pengelolaan pariwisata tak sensitif terhadap pengembangan dan inovasi. Stagnan, malah makin rusak.”Kami senang karena perjuangan panjang kami terkabul. Tahun ini kami sudah bisa membuka S-1 Pariwisata karena pariwisata sudah diakui sebagai ilmu mandiri,” begitu kata Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Upiek Haeryah Sadkar.




Kegembiraan tersebut pantas dirayakan karena perjuangan mereka sudah lama. Lemahnya bangsa ini dalam mengelola aset dan potensi pariwisata ternyata juga didukung fakta masih sedikit sumber daya manusia (SDM) yang terlatih dan mengerti benar soal pariwisata.Dari sisi akademik, ilmu pariwisata di Indonesia baru diakui sebagai satu disiplin ilmu mandiri sejak 31 Maret 2008. ”Kami pernah mengajukan S-1 Pariwisata tahun 1998, perguruan tinggi lain ada yang mengajukan sejak 1980, tapi waktu itu ditolak karena pariwisata dianggap bukan ilmu mandiri,” kata Upiek.Sebagai ”pelipur lara”, STP Bandung berhasil mendirikan S-2 namun di bawah rumpun ilmu lain, yaitu manajemen dengan gelar magister manajemen pariwisata (MMPar). Program S-1 untuk sarjana pariwisata (SPar) belum bisa dibuka tahun itu.Iklim berpikir pun berubah seiring meningkatnya kebutuhan tenaga ahli di bidang pariwisata. Tentu keberhasilan itu disambut gembira kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya menggelar program diploma (D-1 hingga D-4) pariwisata.




Berkat ”reformasi” itu, mulai tahun akademik 2008/2009 STP Bandung bisa menerima mahasiswa baru S-1 Studi Destinasi Pariwisata, S-1 Studi Industri Perjalanan Wisata, serta S-1 Studi Akomodasi dan Katering. STP Bali juga akan membuka S-1 Pariwisata. STP Bandung dan STP Bali, juga STP Makassar dan STP Medan merupakan institusi pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah STP ini, diperkirakan perguruan tinggi lain, baik negeri maupun swasta, akan menyusul membuka program S-1 pariwisata.Sejak 1985.




Anggota dan Sekretaris Tim IX Penyusunan Naskah Akademik Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri, yang juga Pembantu Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Kusmayadi, mengatakan, perjuangan itu dilakukan sejak 1985. ”Tahun 2006 perjuangan digiatkan lagi saat STP Trisakti jadi Sekretariat Hildiktipari,” katanya. Maka, pada 31 Maret 2008, keluarlah surat izin dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional untuk membuka S-1 pariwisata di STP Bandung dan STP Bali. Sejak itu kalangan pelaku pariwisata menganggapnya sebagai sinyal pengakuan dari pemerintah.”Sejak tanggal itu, pemerintah mengakui pariwisata sebagai ilmu mandiri,” kata Kusmayadi.




Hildiktipari atau Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia merupakan wadah komunikasi perguruan tinggi pariwisata. Mereka terus menyosialisasikan ilmu pariwisata sebagai disiplin ilmu mandiri. Dalam situsnya, www.hildiktipari.org, diungkapkan empat hal mengapa pariwisata layak menjadi ilmu mandiri.Pertama, peran penting pariwisata yang meliputi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan itu, ke depannya akan semakin besar dan menjadi industri besar di dunia. Kedua, dari perspektif filsafat, pariwisata memiliki basis yang kuat sebagai ilmu mandiri karena syarat-syarat ontologis, epistemologis, dan aksiologis sudah dipenuhi.




Ketiga, pengalaman sejarah menunjukkan kelahiran suatu cabang ilmu yang baru selalu diwarnai pro-kontra. Keempat, untuk mengembangkan pariwisata tak cukup pendidikan vokasional. Di sini diperlukan pendidikan yang bersifat akademik dan profesi.”Kalau dari diploma, SDM yang dihasilkan belum untuk pemikir, peneliti, birokrat, dan teknokrat. Kita butuh perencana untuk menciptakan atraksi. Kita butuh pemikir yang bisa menciptakan inovasi,” kata Kusmayadi.




”Yang utama, dengan diakuinya pariwisata sebagai ilmu mandiri adalah menjaga keberlanjutan pengembangan pariwisata itu sendiri, sustainable tourism development,” kata Kusmayadi.




Perjalanan ”pariwisata” Prof Dr IG Pitana MSc, guru besar Pariwisata Universitas Udayana yang juga Direktur Promosi Luar Negeri, Ditjen Pemasaran, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, mengatakan, pengakuan secara formal terhadap pariwisata sebagai ilmu mandiri di Indonesia adalah hasil kerja keras semua pemangku kepentingan pariwisata.Ilmu pariwisata dirumuskan sebagai ”ilmu yang mempelajari teori dan praktik tentang perjalanan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi perjalanan wisatawan, dan berbagai implikasinya”.


”Wacana tentang keilmuan pariwisata di Indonesia dilontarkan pertama kali oleh Nyoman S Pendit lewat tulisannya di Bali Post, 23 Maret 1983.




Tahun 1985 diadakan seminar keilmuan pariwisata di Universitas Udayana, Bali, dengan menghadirkan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu,” papar Pitana dalam orasi ilmiah dies natalis ke-39 Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Senin (2/6) di Jakarta.




Namun pariwisata saat itu tetap hanya dijadikan obyek kajian ilmu yang telah mapan. Usaha Universitas Udayana, STP Bandung, dan beberapa universitas, institut, dan sekolah tinggi lain untuk membuka program S-1 pariwisata selalu dimentahkan dengan alasan utama ”pariwisata bukan suatu disiplin ilmu”.”Tak diakuinya pariwisata sebagai ilmu berimbas terhadap statisnya pengembangan SDM pariwisata Indonesia,” katanya.




Masih menurut Pitana, SDM pariwisata di tingkat tenaga teknis dan profesional memang berkualitas tinggi dan diperebutkan pasar tenaga kerja pariwisata dunia. Bahkan World Economic Forum dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2008, menempatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia pada peringkat ke-34 dari 130 negara.”Tetapi daya saing pariwisata Indonesia secara keseluruhan tetap rendah, yaitu peringkat ke-80 dunia karena tak berkembangnya pilar-pilar daya saing lainnya. Banyak pilar tersebut memerlukan penanganan SDM yang punya kualifikasi bidang pariwisata secara akademis,” katanya.Pariwisata sebagai bidang ilmu mandiri, kata Pitana, bukan akhir perjuangan namun awal bagi perjuangan baru. ”Seluruh stakeholder pariwisata harus terus membangun opini keilmuan pariwisata serta mengembangkannya dalam berbagai aspek, termasuk publikasi hasil penelitian,” paparnya.
Sumber: Kompas, Jumat, 06 Juni 2008.

Saturday, 14 June 2008

RANCANG BANGUN ILMU PARIWISATA MANDIRI

1 Pendahuluan
Perjalanan panjang pariwisata untuk diakui sebagai disiplin ilmu mandiri sejak lama telah dilakukan, dan masih terus diperjuangkan. Pengakuan tersebut dibutuhkan berkenaan dengan peningkatan kualifikasi sumberdaya manusia bidang pariwisata, terutama pengakuan dan legitimasi dari pemerintah (c.q Depdiknas) dalam bentuk ijin operasional bagi penyelenggaraan pendidikan Sarjana Pariwisata (S1), Magister Pariwisata (S2) dan Doktor Pariwisata (S3).
Perjalanan dan perjuangan panjang tersebut sampai akhirnya pada deklarasi 24 Agustus 2006 yang menyepakati bahwa pariwisata sudah layak menjadi satu disiplin ilmu mandiri. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi tersebut perlu diimplementasikan ke dalam pengembangan rekabentuk jurusan/departemen dan program studi. Upaya ke arah itu, terus dilakukan, antara lain dengan seminar nasional Manado November 2006, Workshop Sinergi Bandung dan Bali, seminar nasional Hildiktipari Yogyakarta (Juli, 2007) sampai akhirnya Workshop Tindak Lanjut Rancang Bangun Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri (Cemara, 12-13 November 2007).
Rancang bangun ilmu pariwisata mandiri dilakukan dalam rangka mengidentifikasi dan menyusun pohon ilmu pariwisata serta institusi/kelembagaannya. Konsep dan definisi pariwisata dimantap­kan kembali agar diperoleh kesamaan persepsi terhadap objek pariwisata itu sendiri. Ruang lingkup ilmu pariwisata ditetapkan agar diperoleh batasan-batasan ruang kajian yang menjadi pokok ilmu pariwisata.
Struktur kelembagaan juga merupakan bagian dalam pembahasan workhsop ini yang meliputi berbagai alternatif rekabentuk institusi penyelenggara pendidikan S1 Pariwisata.
Sebagai bagian dari sejarah perjuangan Pariwisata menjadi disiplin ilmu mandiri, tonggak-tonggak penting (milestones) juga merupakan bagian dari pembahasan. Isu-isu lain yang menjadi perhatian khusus adalah strategi untuk mendapatkan pengakuan, gelar dan kompetensi lulusan serta kurikulum.
2 Rancang Bangun Pohon Ilmu Pariwisata
2.1 Dasar Keilmuan Pariwisata
Secara konseptual, ilmu adalah suatu pengetahuan sistematis yang diperoleh berdasarkan pengalaman (empirik) dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan metode-metode yang dapat diuji. Oleh sebab itu setiap ilmu memiliki minimal tiga syarat dasar berikut, yakni: 1) ontologi (objek atau focus of interest yang dikaji); 2) epistemologi (metodologi untuk memperoleh pengetahuan); dan 3) aksiologi (nilai manfaat pengetahuan) (Suriasumantri 1978)[1].
Ontologi Pariwisata
Dari aspek ontologi, Ilmu pariwisata mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek-objek yang dikunjungi, sistem dan organisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponen pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Di samping itu, objek formal kajian ilmu pariwisata adalah masyarakat yang terkait dalam melakukan perjalanan. Adapun fenomena pariwisata memiliki tiga unsur yakni: 1) pergerakan wisatawan; 2) aktivitas masyarakat yang memfasilitas pergerakan wisatawan; dan 3) implikasi atau akibat-akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas[2].
Epistemologi Pariwisata
Aspek epistemologi pariwisata menunjuk pada cara-cara memperoleh kebenaran ilmiah atas objek ilmu pariwisata yang didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara empirik. Dalam memperoleh kebenaran ilmiah, yang telah dilakukan adalah (1) pendekatan sistem yang menekankan bahwa baik pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasnya maupun implikasi dari kedua-duanya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan atau pengaruh-mempengaruhi. Setiap pergerakan wisatawan selalu diikuti dengan penyediaan fasilitas wisata dan interaksi keduanya akan menimbulkan kon­sekuensi-konsekuensi logis di bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi bahkan politik sekalipun. Oleh karena itu, sebagai suatu sistem, pariwisata digerakkan oleh dinamika subsistemnya, seperti pasar, produk, pasar dan pemasaran.
(2) pendekatan kelembagaan di mana setiap perjalanan wisata melibatkan wisatawan, penyedia jasa transportasi, penyedia jasa akomodasi, jasa atraksi. Antara satu dengan yang lain memiliki hubungan fungsional dan berdasarkan hubungan itulah kegiatan perjalanan wisata dapat berlangsung. Wisatawan tidak dapat melakukan aktivitasnya jika, misalnya, penyedia jasa akomodasi (hotel dan fasilitas penginapan) tidak menjalankan fungsinya atau apabila jasa transportasi tidak tersedia secara memadai.
(3) pendekatan produk, yang digunakan untuk mengkategorikan bahwa pariwisata sebagai suatu komoditas yang sengaja diciptakan untuk merespon kebutuhan masyarakat. Konsep triple A (atraksi, amenitas, aksesibilitas) yang digunakan untuk menjelaskan elemen produk wisata sesungguhnya menunjuk pada hasil kegiatan memproduksi dan atau mereproduksi komoditas yang dikonsumsi oleh wisatawan.
Berbagai metode dapat digunakan dalam mencari kebenaran ilmiah ilmu pariwisata seperti (1) metode eksploratif dari jenis penelitian eksploratori (exploratory research) dan metode membangun teori (theory-building research) (2) kuantitatif (3) kualitatif (4) studi komparatif (5) eksploratif (6) deskriptif dan metode lainnya sesuai dengan permasalah dan tujuan penelitiannya.
Aksiologi Pariwisata
Aksiologi merupakan aspek ilmu untuk menjawab manfaat apa yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pariwisata jelas memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Perjalanan dan pergerakan wisatawan adalah salah satu bentuk kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beragam, baik dalam bentuk pengalaman, pencerahan, penyegaran fisik dan psikis maupun dalam bentuk aktualisasi diri. Dalam konteks inilah dapat dipahami mengapa, PBB menegaskan kegiatan berwisata sebagai hak asasi. Kontribusi pariwisata yang lebih konkret bagi kesejahteraan manusia dapat dilihat dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda, pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan manusia.
2.2 Definisi Ilmu Pariwisata
Melalui berbagai diskusi dan pembahasan Tim 9 telah menyepakati dan merumuskan ilmu pariwisata sebagai berikut:
Ilmu pariwisata didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari teori-teori dan praktik-praktik tentang perjalanan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi perjalanan wisatawan, dengan berbagai implikasinya.
Definisi ilmu pariwisata ini disusun dari pengertian ilmu sebagai pengetahuan ilmiah dan akumulasi dari beberapa definisi pariwisata dalam berbagai aspeknya. Dengan demikian, teori-teori pariwisata dapat dibangun dan dikembangkan baik secara deduktif maupun secara induktif. Praktik-praktik baik di lapangan dapat dikaji lebih mendalam untuk melahirkan teori baru atau melengkapi dan mengembangkan teori yang ada sekarang ini.

2.3 Ruang Lingkup Industri dan Ilmu Pariwisata
Industri Pariwisata vs Ilmu Pariwisata
Seperti diuraikan di atas, ilmu pariwisata harus memberikan manfaat bagi masyarakat dan pengembangan ilmu itu sendiri. Manfaat bagi kegiatan ekonomi dapat dilihat dari tumbuhkembangnya industri pariwisata. Karena besar dan luasnya manfaat tersebut, maka berbagai klasifikasi digunakan dalam industri ini. World Tourism Organization (WTO) mengem­bangkan Standard International Classification of Tourism Activities (SICTA) yang dipadankan atas Standard Industrial Classification of all Economic Activities (ISIC). Di samping itu, ditetapkan pula pengkla­sifikasian Tourism Characteristic Product (TCP) yang mengacu pada pengelompokkan yang digunakan oleh United Nation Central Product Classification (UN-CPC). Di dalam CPC, industri pariwisata terdapat pada tujuh kelompok besar (WTO, 2000) yaitu, sbb:
1. Accomodation services. Industri ini meliputi jasa hotel dan motel, pusat liburan dan home holiday service, jasa penyewaan furniture untuk akomodasi, youth hostel service, jasa training anak-anak dan pelayanan kemping, pelayanan kemping dan caravan, sleeping car service, time-share, bed and breakfast dan pelayanan sejenis.
2. Food and beverage-serving services. Yang termasuk ke dalam industri adalah full-restoran dan rumah makan, kedai nasi, catering service, inflight catering, café, coffee shop, bar dan sejenis yang menyediakan makanan dan minuman bagi wisatawan.
3. Passenger transport services. Yang termasuk kelompok ini antara lain jasa angkutan darat seperti bis, kereta api, taxi, mobil carteran; jasa angkutan perairan baik laut, danau, maupun sungai meliput jasa penyeberangan wisatawan, cruise ship dan sejenisnya. Dan terakhir adalah jasa angkutan udara melalui perusahan-perusahaan airlines. Di samping itu, sector pendukung antara lain navigation and aid service, stasion bis, jasa pelayanan parker penumpang, dan lainnya.
4. Travel agency, tour operator and tourist guide services. Yang termasuk kepada kelompok ini antara lain, agen perjalanan, konsultan perjalanan, biro perjalanan wisata, pemimpin perjalanan dan yang sejenis.
5. Cultural services. Jasa pagelaran tari dan fasilitas pelayanan tarian, biro pelayanan penari dan sejenisnya. Jasa pelayanan museum kecuali gedung dan tempat bersejarah, pemeliharaan gedung dan tempat bersejarah, botanical and zoological garden service, pelayanan pada perlindungan alam termasuk suaka margasatwa.
6. Recreation and other enter­tainment services. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pelayanan olah raga dan olah raga rekreasi, pelayanan golf course, ski, sirkuit balapan, taman rekreasi dan pelayanan pantai. Pelayanan taman bertema, taman-taman hiburan, pelayanan pameran dan sejenisnya.
7. Miscellaneous tourism services. Yang temasuk kelompok ini adalah jasa keuangan, asuransi, tempat penukaran mata uang dan yang sejenis.
Kelompok lain didasarkan atas perbedaan dan persamaan antara hospitaliti dan pariwisata, seperti digambarkan Baker dan Jeremy yang membedakan pertautan antara keduanya, seperti pada Gambar 1.

t
Gambar 1. Hospitality and Tourism (Baker and Jeremy, 2001)
Melalui diagram di atas, dapat diturunkan berbagai aktivitas baik di hospitaliti mapun pariwisata. Pertautan kedua industri hospitality and tourism meliputi usaha/industri dalam bidang (1) hotel/motel, (2) taman karavan, (3) bed & breakfast (4) tempat liburan (holiday), (5) resort (6) restaurant, (7) convention centers, (8) casinos dan (9) cruise ship. Yang tidak bertautan antara lain sebagai hospitaliti industri adalah hotel, vila peristirahatan, kondominium dan katering. Sedangkan pariwisata sendiri mencakup leisure, taman bertema, transportasi outlet ritel dan manajemen event.
Sementara itu, Walker mengajukan hospitaliti dan pariwi­sata menjadi empat kategori yaitu (1) industri perja­lanan/travel, (2) recreation, (3) lodging dan (4) food service. Travel dan recreation merupakan bagian dari industri pariwisata sedangkan lodging dan food service merupakan industri hospitaliti.
Gambar 2. Lingkup Industri Hospitaliti dan Pariwisata
Adapun berdasarkan jenisnya, bisnis pariwisata dikelompokkan menjadi jenis bisnis restoran, penginapan/akomodasi, transportasi, pelayanan perjalanan, penyediaan sarana rekreasi dan hiburan, atraksi wisata dan kegiatan penelitian pengembangan destinasi dan perjalanan seperti pada Gambar 3:
PARIWISATA
Sumber: diadaptasi dari Lunberg dkk alih bahasa Yusuf, S. 1997p.5
Gambar 3. Jenis Bisnis Kepariwisataan
Cabang-cabang Ilmu Pariwisata
Berdasarkan dinamika perkembangan di industri, dan mengacu kepada ketiga aspek ilmu pariwisata, terutama terkait dengan aspek ontologi yang menegaskan objek formalnya, maka dapat diidentifikasi beberapa cabang ilmu pariwisata. Oleh karena objek formal dan focus of interest ilmu pariwisata adalah pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitas pergerakan wisatawan dan implikasi atau akibat-akibat pergerakan wisatawan serta aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, maka cabang-cabang disiplin pariwisata paling tidak dapat diiden­tifikasi sebagai berikut:
1. Pengembangan Jasa Wisata. Cabang ini mengkhususkan diri pada pengembangan pengetahuan tentang strategi, metode dan teknik menyediakan jasa dan hospitality yang mendukung kelancaran perjalanan wisata. Objek perhatiannya adalah aktivitas masyarakat di dalam penyediaan jasa, seperti fasilitas akomodasi, atraksi, akses dan amenitas, serta jasa-jasa yang bersifat intangible lainnya. Dikaitkan dengan klasifikasi industri pariwisata di atas, maka cabang ini mempelajari dan mengem­bangkan ilmu-ilmu yang dalam klasifikasi sebagai ranting.
2. Organisasi Perjalanan. Cabang ini menitikberatkan perhatiannya pada pengaturan lalu-lintas perjalanan wisatawan dan penyediaan media atau paket-paket perjalanan yang memungkinkan wisatawan mampu memperoleh nilai kepuasan berwisata yang tinggi melalui pengelolaan sumberdaya pariwisata. Dalam hal ini objek perhatiannya terfokus pada pemaketan perjalanan wisata, pengorganisasian dan pengelolaannya sesuai dengan prinsip-prinsip kerberlanjutan. Di samping itu, ranting-ranting ilmu tersebut dapat ditumbuhkan mengacu kepada klasifikasi yang dikembangkan UN-WTO.
3. Kebijakan Pembangunan Pariwisata. Cabang ini menitik­beratkan perhatiannya pada upaya-upaya peningkatan manfaat sosial, ekonomi, budaya, psikologi perjalanan wisata bagi masyarakat dan wisatawan dan evaluasi perkembangan pariwisata melalui suatu tindakan yang terencana. Termasuk dalam hal ini adalah perencanaan kebijakan dan pengembangan pariwisata.
Cabang-cabang ilmu tersebut diharapkan dapat menghasilkan sumberdaya atau lulusan yang memiliki keahlian sebagai berikut[3]:
1. Para Akademisi/peneliti/ilmuwan, yaitu SDM yang memiliki kompetensi untuk mengem­bangkan ilmu pengetahuan tentang kepariwisataan dan/atau konsep-konsep yang genuine, bertugas untuk melakukan penelitian dalam lingkup ilmu pariwisata. Hasilnya berupa pengetahuan, teori bahkan teknologi. Hasil-hasil tersebut dapat digunakan oleh industri, pendidikan vokasi dan profesi dan pendidikan akademik sendiri.
2. Para Teknokrat, yaitu SDM yang mempunyai kompetensi untuk mengembangkan rancang bangun kepariwisataan, kebijakan kepariwisataan, diver­sifikasi produk wisata, dan strategi pemasaran pariwisata akan menemukan metode, inovasi, yang digunakan baik oleh industri maupun pendidikan vokasi dan pendidikan akademik sendiri. Yang lebih luas adalah para teknoktrat dapat merancang destinasi wisata dan variannya.
3. Para profesional, yaitu SDM yang memiliki kompetensi berupa keahlian untuk mengembangkan dan mengelola usaha pariwisata, yang lebih pada penggunaan ilmu dan teknologi yang diperlukan baik oleh industri maupu lembanga pendidikan.
4. Para tenaga teknis, yaitu SDM yang memiliki kompetensi berupa keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat teknis dalam usaha pariwisata. Mereka akan sangat terbantu untuk dengan adanya teknologi pengetahuan hasil penelitian.
Secara lebih spesifik, dapat diidentifikasi kompetensi keahlian para lulusan atau penyandang keahlian ilmu pariwisata sebagai berikut:
1. Kompetensi dalam penyediaan, pengelolaan dan pengembangan berbagai jenis jasa wisata, seperti akomodasi, industri boga, event organizer, dll.
2. Kompetensi dalam penyediaan, pengelolaan dan pengembangan paket dan program perjalanan.
3. Kompetensi dalam penyusunan program pengembangan des­tinasi, penataan kawasan, penyusunan kebijakan pemasaran, analisis dampak pariwisata dan lain-lain.
2.4 Pohon, Cabang dan Ranting Ilmu Pariwisata
Pohon ilmu pariwisata tumbuh dari akar-akar ilmu religi, sosial, ekonomi, bahasa, teknologi, seni dan budaya. Selanjutya tumbuh menjadi pohon ilmu pariwisata yang memiliki cabang dan tumbuh ranting ranting-ranting ilmu sebagi focus of interest.
Beberapa alternatif pohon, cabang dan ranting ilmu pariwisata dapat dibangun.
Gambar 4. Pohon Ilmu Pariwisata

3 Struktur Kelembagaan
3.1 Institusi Pendidikan Tinggi
Pengakuan pariwisata sebagai ilmu mandiri dibuktikan dalam bentuk pemberian izin pembukaan program pendidikan akademik S1, S2 dan S3 bidang keilmuan Pariwisata. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 234/U/2000, yang mengatur tentang pendirian pendidikan tinggi, yang boleh membuka program akademik adalah Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas.
1. Sekolah Tinggi. Perguruan tinggi yang menyeleng­gara­kan pendidikan profesional dan akademik dalam lingkup satu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
2. Institut. Perguruan tinggi yang di samping menyelenggarakan pendidikan akademik dapat pula menyelenggarakan pendidikan profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian sejenis.
3. Universitas. Perguruan tinggi yang di samping menye­leng­garakan pendidikan akademik dapat pula menyeleng­garakan pendidikan profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
Berdasarkan kondisi saat ini, yang paling memungkinkan untuk membuka program S1 Pariwisata adalah Sekolah Tinggi. Adapun institusi yang akan merubah bentuk dari Sekolah Tinggi ke Insitut, disepakati dengan nama INSTITUT PARIWISATA XXX (tanpa menyebutkan ilmu).
Dari hasil diskusi mengenai kelembagaan diusulkan agar STP Bandung dan Bali mempersiapkan usulan membuka program sarjana (S1) di samping itu, Hildiktipari mengidentifikasi para anggotanya yang sudah siap membuka program Sarjana agar diajukan bersama-sama.
3.2 Jenjang Program
Program Sarjana (S1)
Program S1, jenjang pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal 144 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 160 sks dengan kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Program Magister (S2)
Program S2, jenjang pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal 36 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 50 sks dengan kurikulum 4 semester dan lama program antara 4 sampai 10 semester setelah pendidikan Program S1 atau sederajat.
Program Doktor (S3)
selanjutnya disebut Program S3 adalah jenjang pendidikan akademik yang ditempuh setelah perididikan Program S1 atau sederajat, atau ditempuh setelah pendidikan Program S2 atau sederajat, dengan beban studi dan prosedur yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Untuk mendirikan atau menyelenggarakan pendidikan tersebut, menganut pada kententuan-tuan sebagai berikut:


Tabel 1. Program Studi, Disiplin Ilmu dan Jenjang yang dapat diselenggarakan oleh Institusi Pendidikan Tinggi
Insitusi
Prog. Study (minimal)
Jumlah Disiplin ilmu
Jenjang
Akademi
1
1
D1,D2,D3
Politeknik
3
1
D1,D2,D3, D4
Sekolah Tinggi
1
1
D1,D2,D3, D4, S1, S2, S3
Institut
6
3
D1,D2,D3, D4, S1, S2, S3
Universitas
10
5 (3 IPA, 2 IPS)
D1,D2,D3, D4, S1, S2, S3
Note Program Diploma tidak boleh lebih dari ½ dari jumlah sarjananya
Dengan mengacu kepada ketentuan di atas, maka hanya-beberapa perguruan tinggi yang sudah siap untuk membuka program S1 Pariwisata. Oleh karena itu, rapat mendorong agar sekolah-sekolah yang siap membuka program studi, berkoordinasi untuk bersama-sama mengajukan usulan pembukaan program S1 tersebut.

4 Roadmap dan Strategi Perjuangan Pariwisata Menjadi Disiplin Ilmu Mandiri
Perjalanan panjang pariwisata menjadi disiplin ilmu mandiri dilakukan melalui berbagai kegiatan, mulai dari pengjuan pembukaan program sarjana pariwisata, seminar dan workshop, rapat kerja dan diskusi-diskusi ilmiah.

4.1 Roadmap Perjuangan Pariwisata Sebagai Disiplin Ilmu Mandiri
1985
1 Mei 1985
Pendirian Program Studi Ilmu Kepariwisataan (PSIK) di Udayana
1988
2 November 1988
Perubahan Program Studi Ilmu Kepariwisataan (S1) menjadi Program Studi Pariwisata di bawah Jurusan Antropologi pada Fakultas Sastra Universitas Udayana
1989
22 Juli 1989
Program Studi Pariwisata dengan jenjang pendidikan Diploma IV Pariwisata merupakan Program Studi Antar Fakultas.
Lulusan Program Studi Pariwisata Unud dengan jenjang pendidikan Diploma 4 Pariwisata berhak menyandang Gelar Sarjana Sains Terapan Pariwisata (SST.Par.) yang telah disetarakan dengan Program Sarjana 1 / Strata 1.
1996
Maret 1996
Musyawarah Nasional III Hildiktipari
Nusa Dua Bali
1997
Unmer, Juli 1997
Rakernas V Hildiktipari
Universitas Merdeka Malang
Kurikulum program Studi Pariwisata
1998
3-4 Juli 1998
Lokakarya Pendidikan Kepariwisataan Menyongsong Era Globalisasi
Pusdiklat Depparsenibud, Hildiktipari dan P2Par-ITB

Dibahas tentang prospek pendidikan pariwisata dan status keilmuan pariwisata. Pariwisata dapat diakui sebagai disiplin ilmu mandiri.
1999
19-21 November 1999
Rakernas VI, Hildiktipari, Surakarta (Solo)
STIEPAR Yapari

Kurikulum Program S1 Pariwisata STIEPAR

2000
6-9 Agustus 2000
Munas IV Hildiktipari
Akpar Satu Nusa Lampung.

Pariwisata harus segera diusulkan sebagai disiplin ilmu mandiri
2005
16 November 2005
SEMINAR NASIONAL. ‘Hari Depan Pendidikan Kepariwisataan Indonesia’
STP Bali

Kepariwisataan mempunyai peluang untuk dijadikan sebuah kajian keilmuan yang bersifat multidisiplin, sejajar dengan bidang-bidang keilmuan yang lain.
2006
6 April 2006
Munas V Hildiktipari
STP Trisakti

Pariwisata dapat membuka program baik Vokasi maupun Akademik

15-16 Agustus 2006
RAPAT KOORDINASI PENDIDIKAN PARIWISATA
1. Peralihan/perubahan format kelembagaan pendidikan tinggi ikut mempengaruhi jenis dan ragam substansi ilmu yang dikembangkan
2. Bidang-bidang kajian keilmuan seperti pariwisata, maritim, keperawatan dan olahraga merupakan bidang-bidang strategis dan mengalami perkembangan yang sangat pesat.
3. Kajian, amatan, diskusi dan publikasi ilmiah tentang pariwisata sangat kaya, namun demikian outputnya untuk menghasilkan satu ilmu pariwisata belum terwujud.
4. Seluruh peserta sepakat bahwa pariwisata merupakan aktivitas masyarakat yang besar di seluruh dunia, berlanjut dan menyangkut berbagai segi kehidupan saat ini dan di masa depan. Oleh sebab itu upaya untuk memformalkan pariwisata sebagai ilmu merupakan kebutuhan yang perlu segera direalisasi.
5. Diskursus tentang pariwisata sebagai cabang ilmu baru, telah lama berlangsung tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri ketika sudah dikenalkan istilah touristologi sebagai sebutan untuk ilmu pariwisata. Jadi kalau sekarang wacana itu dikembangkan lagi, maka hendaknya terus dikembangkan dan diformalisasi oleh komunitas ahli.
6. Eksplorasi terhadap objek formal ilmu pariwisata harus terus-menerus dilakukan untuk memperkuat terwujudnya pariwisata sebagai ilmu.
7. Diharapkan ada kejelasan dan konsistensi kebijkan pemerintah (Depdiknas) dalam hal legitimasi eksistensi lembaga pendidikan tinggi Ilmu Pariwisata.
8. Perwujudan pariwisata sebagai ilmu sepenuhnya didasarkan pada pengakuan dan dukungan para intelektual, ilmuwan, dan akademisi.

24 Agustus 2006
DEKLARASI ILMU PARIWISATA
Bahwa berdasarkan berbagai kajian, pariwisata sudah memenuhi persyaratan sebagai ilmu yang didasarkan pada filsafat ilmu, maka dengan ini kami peserta Rapat Koordinasi Pendidikan Pariwisata yang terdiri dari akademisi, asosiasi, dan pemerintah, bersepakat untuk menyatakan:

1. Pertama, Pariwisata adalah cabang ilmu yang mandiri.
2. Kedua, Program S1, S2, S3 Ilmu Pariwisata di berbagai lembaga pendidikan tinggi sudah layak diberikan izin oleh Departemen Pendidikan Nasional, baik sebagai Fakultas dalam suatu Universitas maupun Institut sebagai lembaga mandiri.

Jakarta, 24 Agustus 2006.
Dideklarasikan oleh sekitar 250 orang peserta Workshop

Hotel Ritzy, 27 November 2006
Seminar Nasional Peluang Pariwisata Sebagai Ilmu Mandiri
Sekolah Tinggi Pariwisata Manado

Pariwisata adalah suatu gejala yang sangat kompleks didalam masyarakat, yang memerlukan pendekatan multidisiplin atau bahkan transdisiplin untuk mengkajinya. Oleh karena itu pariwisata kini telah berkembang menjadi suatu subyek pengetahuan yag pantas dibahas secara ilmiah untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah (science)
2007
Hotel STP Bandung, 10 Juli 2007
LOKAKARYA NASIONAL SINERGI STP BANDUNG DENGAN DIKTI
Rekomendasi yang berkaitan dengan keilmuan pariwisata:
1. Bila ditinjau dari perspektif filsafat ilmu, pariwisata memiliki basis yang kuat untuk dipandang sebagai ilmu mandiri, karena sudah memenuhi syarat-syarat ontologism, epistimologis dan aksiologis. Di sisi lain, pariwisata memenuhi syarat untuk menjadi ilmu mandiri, baik dari aspek universal, objek material dan formal, sistematik dan metode penelitian
2. Pengalaman empiris menunjukkan adanya kebutuhan akan SDM pariwisata selain profesional dan tenaga teknis yaitui mereka berperan sebagai akademisi/peneliti/ilmuwan, teknokrat, yang memiliki kemampuan konseptual, sehingga muncul tantangan untuk tidak saja mengembangkan bidang vokasi tetapi juga akademis di perguruan tinggi pariwisata.
3. Pengalaman lembaga pendidikan tinggi yang berstatus sekolah tinggi (dalam hal ini STSI Denpasar) menunjukkan bahwa ada proses yang harus dilalui di dalam merubah status menjadi institut, diantaranya adalah mengembangkan ranting keilmuan dan melakukan penataan jurusan/program studi yang ada dan menyiapkan/membuka jurusan/program studi baru termasuk di jalur strata 1 (S1), dan status sebagai institut memberikan ruang yang sangat luas bagi pengembangan ilmu
4. Perubahan status kelembagaan STP Bandung dan pergukuhan pariwisata sebagai ilmu mandiri mendapat dukungan penuh dari berbagai stakeholders di bidang pendidikan dan kepariwisataan secara umum.

Hotel Garuda Natour, 9 Agustus 2007
RAPAT KERJA NASIONAL HILDIKTIPARI
DPW Hildiktipari Yogyakarta; Akpram
Menghasilkan Deklarasi Yogyakarta:
1. Pariwisata adalah ilmu mandiri
2. Pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional diharapkan untuk berperan aktif dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi terbentuknya program strata satu (S-1) di bidang kepariwisataan.
3. Mendukung perguruan tinggi negeri untuk menjadi pelopor dalam membentuk program strata satu (S-1) di bidang ilmu kepariwisataan yang menghasilkan sarjana pariwisata (S. Par), untuk kemudian diikuti oleh perguruan tinggi pariwisata lainnya
4. Seluruh stakeholders di bidang pariwisata sepakat untuk beraliansi secara strategis dengan membangun jaringan kerjasama dalam pengembangan keilmuan pariwisata dengan mengoptimalkan seluruh simpul-simpul yang ada, dalam kerangka program kerjasama sinergis sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi

Hotel Cemara, 12-13 November 2007
Workshop: TINDAK LANJUT PENYUSUNAN RANCANG BANGUN PARIWISATA SEBAGAI DISIPLIN ILMU MANDIRI
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,

1. Pohon Ilmu Pariwisata terdiri dari tiga cabang: Pengembangan Jasa Pariwisata, Organisasi Perjalanan, dan Kebijakan Pembangunan Pariwisata. Adapun ranting-rantingnya dikembangkan berdasarkan fokus of interest dari masing-masing cabang.

2. Gelar lulusan terdiri atas:
• S.Par, untuk Sarjana Pariwisata
• M.Par, untuk Magister Pariwisata
• Dr., untuk Doktor Pariwisata
3. Garis Besar Kompetensi Lulusan
4. Perlunya Pembahasan Kurikulum Program Studi

4.2 Strategi Pengajuan Legitimasi Pariwisata Ilmu Mandiri
Untuk mendapatkan pengakuan formal disiplin ilmu pariwisata, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Presentasi
Pemaparan ilmu pariwisata pariwisata sangat diperlukan untuk meyakinkan para pihak agar memiliki kesamaan pandangan terhadap keilmuan pariwisata. Presentasi dilakukan di depan tim pakar yang ditunjuk oleh Dikti sebagai pemberi pertimbangan terhadap keluarnya ijin operasional program Sarjana Pariwisata.
Presentasi dilakukan bersama-sama oleh setiap komponen/­stakholder pariwisata antara lain Himpunan Pendidikan Tinggi Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Asosiasi Industri dan komponen penggiat pariwisata.
Di samping presentasi, sekaligus diajukan pula usulan program sarjana pariwisata untuk untuk pertimbangan ijin operasional. Sebaiknya lebih dari satu program studi yang diajukan agar ada pilihan untuk dikeluarkan ijinnya operasionalnya.
Untuk itu maka anggota Hildiktipari yang siap diharapkan menyusun proposalnya. Dalam proses penyusunan ini, koordinasi dan konsultasi harus dilakukan dengan pihak Dirjen Dikti.
Pengajuan Program
Diharapkan ada dua atu lebih program studi Sarjana Pariwisata yang diajukan bersamaan dengan pemaparan tentang pohon ilmu pariwisata.
Program studi yang diusulkan harus lengkap sesuai dengan Kepmendiknas No. 234/U/2000. Kurikulum Program Studi, harus mengikuti ketentuan Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2000.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) merupakan acuan utama dalam penyusunan kurikulum program studi, profil dan standar kompetensi lulusan juga harus disusun dengan seksama.
5 Gelar dan Kompetensi Lulusan
5.1 Gelar Lulusan
Ketentuan gelar dan lulusan pendidikan tinggi telah diatur dalam Kepmendiknas: No. 178/U/2000. Berdasarkan keputusan tersebut gelar terdiri atas Sarjana, Magister dan Doktor (Ps. 6) yang penggunaanya ditempatkan di belakang nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S., untuk Sarjana dan huruf M. untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang keahlian. Kecuali gelar Doktor disingkat Dr. ditempatkan di depan nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan (Ps. 9).
Adapun penetapan jenis gelar serta singkatannya sesuai dengan kelompok bidang ilmu dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bersamaan dengan pemberian ijin pembukaan program studi berdasarkan usul dari perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kepatutan akademik (Ps 8). Berdasarkan hal tersebut, Forum menyepakati gelar lulusan yang akan diusulkan untuk kelompok bidang ilmu pariwisata adalah:
· Program Sarjana (S1) gelar Sarjana Pariwisata disingkat S.Par
· Program Magister (S2) gelar Magister Pariwisata disingkat M.Par
· Program Doktor (S3) gelar Doktor disingkat Dr.

5.2 Kompetensi Lulusan
Kompetensi Lulusan telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 35 yang menyatakan bahwa “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tang­gungjawab, yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Kompentensi meliputi: ilmu dan pengetahuan, keteram­pilan, mensikapi pekerjaan dan bermasyarakat dengan pilihan profesinya. Kompetensi terhadap pekerjaan dinyatakan dengan sertifikat profesi yang berlaku secara internasional dan lisensi berprofesi secara nasional. Kompetensi lulusan perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai interlocking antara pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap profesi atau pekerjaan.
Gambar 5. Kompetensi Lulusan PT dalam Berkarya di Masyarakat
Pengetahuan (knowledge) adalah sekumpulan informasi spesifik yang diperoleh dari disiplin akademi, prosedur atau manual suatu organisasi, atau dari pengalaman. Sebagai contoh: pengetahuan food service, pengetahuan memasak, pengetahuan memandu atau pengetahuan tentang teori-teori yang menjadi landasan suatu praktik. Keterampilan (skill) menunjuk pada kecakapan dalam mela­kukan/aplikasi kegiatan, yang dapat dilihat dari aktivitas fisik, mental atau interpersonal sense.
Sedangkan di tempat kerja, seseorang dikatakan kompeten apabila memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas spesifik secara efisien, kemampuan bekerja secara profesional pada berbagai tugas pekerjaan dan kemampuan untuk mengembangkan diri sebagai continuous learning dan berkembang mengelola perubahan. Kompeten yang dimaksudkan seperti pada gambar berikut:
Gambar 6. Kompetensi Seseorang di Tempat Kerja
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan karakteristik program studi akademik, vokasi, dan profesi (penjelasan ps 27 ayat 2, PP 19, 2005).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka perlu disusun secara seksama standar kompetensi lulusan yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan dengan lulusannya.
Belum dilakukan pembahasan mengenai kompetensi lulusan yang dimaksudkan di atas, oleh karena itu perlu disusun dan dibahas secara khusus kompetensi yang akan ditetapkan. Penetapan kompetensi lulusan ini sangat penting dalam menyusun kurikulum yang akan diajukan.
Namun demikian kompetensi yang disusun hendaknya selaras dengan cabang-cabang ilmu pariwisata seperti yang diajukan di atas.
Kompetensi lulusan disusun berdasarkan profil lulusan yang ingin dihasilkan, kebutuhan pengguna, dan budaya akademik perguruan tinggi. Sebagai contoh untuk profil program vokasi antara lain:
Program Diploma I: Diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin, atau memecahkan masalah yang sudah akrab sifat-sifat maupun kontekstualnya di bawah bimbingan.
Program Diploma III: Diarahkan pada lulusan yang menguasai kemampuan dalam bidang kerja yang bersifat rutin maupun yang belum akrab dengan sifat-sifat maupun kontekstualnya, secara man­diri dalam pelaksanaan maupun tanggung jawab pekerjaannya , serta mampu melaksanakan pengawasan dan bimbingan atas dasar keterampilan manajerial yang dimilikinya.
Program Diploma IV: Diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional tertentu, termasuk keterampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah dengan tanggung jawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki keterampilan manajerial, serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi dalam bidang keahliannya.
Program Sarjana (S1): Diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional tertentu, termasuk keterampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah dengan tanggung jawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki keterampilan manajerial, serta mampu melakukan penelitian untuk mengembang­kan dan mencipta pengetahuan, dan teknologi dalam bidang keahliannya.

6 Kurikulum Program Studi
6.1 Kurikulum Akademik dan Vokasi
Dalam pendidikan pariwisata, yang membedakan pendidikan aka­demik dengan pendidikan vokasi terletak pada struktur isi kurikulum yang disajikan. Kurikulum yang dibangun yang disusun mengacu pada kebutuhan/tingkatan kompetensi yang dibutuhkan oleh industri. Karakteristik muatan kurikulum yang dipadankan dengan kebutuhan industri, dan membedakan antara vokasi dan akademik sebagaimana digambarkan pada kurikulum kontinum di bawah ini.

Gambar 7. Kurikulum Kontinum Akademik vs Vokasi
Perbedaan bentuk batang pada Gambar 7 di atas tergantung lingkungan di mana para lulusan bekerja, semakin runcing kerucut batang tersebut, maka semakin kecil pula peranan kurikulum pendidikan/pelatihan yang harus diberikan. Pendidikan akademik ditujukan untuk menghasilkan tenaga kerja level atas, sedangkan pendidikan vokasi menekankan pada kemampuan tingkat operasional. Dari gambar tersebut teridentifikasi sembilan kemampuan yang harus dihasilkan oleh kurikulum program studi. Tiga diantara sembilan kompetensi pada gambar di atas harus memiliki bobot yang sama baik pendidikan akademik maupun pendidikan vokasi yaitu kom­petensi profesionalisme, hospitality dan cosmopolitanism. Pro­fesionalisme merupakan kompetensi yang harus dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang sangat penting untuk memasuki dunia kerja, sehingga bentuk batangnya tidak mengerucut. Hal ini berarti memi­liki kepentingan sama untuk setiap level. Profesionalisme sangat penting untuk masuk ke di industri hospitaliti dan pariwisata namun pelaksanaanya akan berbeda pada siatuasi-situasi tertentu. Untuk memperluas tingkat profesionalisme, karakteristik hospitaliti meru­pakan bagian penting dalam pembelajaran. Kosmopolitanisme dapat dipahami sebagai konsep dan praktik dari hospitaliti dan pariwisata. Proses pembelajaran harus menghasilkan orang yang mengerti budaya serta menghargainya. Demikian pula komunikasi dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh orang lain/kas­temer merupakan hal penting dalam pendidikan baik akademik maupun vokasi.
Dengan demikian, profesionalisme harus ditunjang oleh hospitality dan cosmopolitanism yang diartikan sebagai kompetensi kepribadian dan integritas diri yang ditampilkan sebagai sosok yang ramah, ikhlas membantu dan melayani, serta kemampuan memahami keragaman budaya untuk saling mengenal satu sama lain dalam rangka cultural communication.
Pengenalan kompetensi pendidikan akademik dan pendidikan vokasi ini ditujukan untuk menetapkan bobot atau kedalaman kurikulum program studi yang akan dirancang. Turunan Gambar 7 di atas diringkaskan sebagai mana pada Gambar 8. berikut ini:
Gambar 8. Kompetensi Akademik dan Kompetensi Vokasi
Kompetensi pendidikan vokasi menekankan pada aspek penguasaan keterampilan kerja, ketrampilan teknis, lebih menggunakan kema­hiran fisik, garis kerja sinkronis, dan ‘pengetahuan bagaimana’ sesuatu itu terjadi. Sebaliknya proses pembelajaran akademik menekankan pada bagamana menghasilkan sumberdaya yang memiliki wawasan/pan­dangan luas tentang lapangan pekerjaan, kemampuan konseptual, mengutamakan berfikir kritis, dan visi masa depan berbasiskan sekarang dan masa lalu, serta memiliki ‘pengetahuan mengapa’ sesuatu bisa terjadi.
6.2 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Implementasi kompetensi ke dalam kurikulum bukan lah hal yang mudah, oleh karena itu kurikulum harus selalu ditinjau dan diperbaharui.
Penyusunan kurikulum harus dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan antara lain (Kusmayadi, 2003)[4]:
adanya perubahan yang mendasar dalam sistem sosial dan perekonomian nasional maupun global;
pesatnya pertumbuhan dan pengembangan ilmu dan tek­nologi baru bidang hospitaliti dan pariwisata;
perlunya kerangka kurikulum yang dapat mengakomodasikan sebanyak mungkin entities (kesatuan);
adanya berbagai kekurangan dalam kurikulum yang diper­gunakan saat ini;
perlunya kurikulum yang dapat diakses secara luas agar dapat terintegrasi dengan berbagai kebutuhan industri;
adanya kebutuhan mobilitas yang tinggi dari industri, sehingga menuntut adanya fleksibilitas kurikulum;
adanya kecenderungan penerimaan terhadap berbagai standard internasional;
meningkatnya kebutuhan masyarakat atas pembelajaran sepanjang hayat;
adanya tuntutan pasar kerja yang mengharuskan tenaga kerja dapat mengelola perubahan dengan cepat;
adanya kebutuhan untuk memperluas penempatan lulusan yang berkompetensi.
Oleh karena berbagai pertimbangan di atas, maka penyusunan kurikulum perlu menekankan pada upaya untuk[5]:
mengembangkan agar mahasiswa lebih meningkatkan rasa tang­gungjawab, independensi/kemandirian, kreatifitas, per­caya diri (self-confidence) dan jiwa kewi­rausahaan;
mendorong kemampuan bekerja dalam tim dan kemampuan mengambil keputusan dalam kelompok;
meningkatkan pengintegrasian antara pembelajaran teori dengan pembe­lajaran praktik;
meningkatkan pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai positif dan etika kerja/professional, serta mampu melaksa­nakannya dalam proses pembelajaran.
memperlengkapi mahasiswa dengan ketrampilan dan kemam­puan beradap­tasi termasuk ketrampilan berbahasa asing;
meningkatkan ketrampilan komunikasi dan ketrampilan tek­nologi komputer;
meningkatkan dan memahami nilai-nilai demok­ratis/­kebebasan dalam pembelajaran;
memperkuat mata rantai (link) antara industri (stakeholder) dan institusi pendidikan;
menyediakan system pembelajaran yang mampu mengako­modasi permintaan calon mahasiswa baik secara horizontal maupun vertical.
Dikaitkan dengak KBK, pertimbangan dan penekanan di tersebut harus memperlihatkan ciri-ciri dari kurikulum tersebut yaitu[6]:
Disusun oleh penyelenggara pendidikan tinggi dan pihak-pihak berkepentingan terhadap lulusan pendidikan tinggi (masyarakat profesi dan pengguna lulusan);
Menyatakan secara jelas rincian kompetensi peserta didik sebagai luaran (out comes) proses pembelajaran;
Materi ajar dan proses pembelajaran didesain dengan orientasi pada pencapaian kompetensi dan berfokus pada minat peserta didik.(Student Centered Learning);
Lebih mensinergikan dan mengintegrasikan penguasaan ranah koqnitif, psikomotorik dan afektif;
Proses penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada kemam­puan untuk berkreasi secara prosedural atas dasar pema­haman penerapan, analisis, dan evaluasi yang benar pula.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000 dan Nomor: 045/U/2002 tanggal 2 April 2002, merupakan panduan dalam menentapkan elemen kompetensi dan jenis komptensi. Elemen kompetensi teridiri atas (1) pengembangan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) keahlian berkarya dan (4) perilaku berkarya dan (5) pemahaman kehidupan bermasyarakat.
Adapun jenis kompetensi terdiri atas (1) kompetensi utama, (2) kompetensi pendukung dan (3) kompetensi lainnya.
Selanjutnya harus disusun matriks yang menghubungkan antara elemen-elemen kompetensi dengan jenis kompetensi yang akan disusun. Tabel di bawah ini merupakan contoh matrik yang menghubungkan antra elemen kompetensi dengan jenis komptensi.
Tabel 2. Contoh Matriks Elemen Kompetensi dengan Jenis Kompetensi
No.
Elemen Kompetensi (Kepmen 232)
Kompentensi utama
Komentensi pendukung
Kompetensi lainnya
1.
Perkembangan Kepribadian
Memahami falsafah dasar negara dan konsitusi, memiliki kesadaran bernegara dan beragama, menguasai dan mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Indonesia
Pengamalan ajaran agama menjadi keyakinan dengan baik, melaksanakan fungsi sebagai warga negara serta dapat menggunakan bahasa Indonesia di bidang hospitaliti dan pariwisata, serta mampu bekerja dalam beragam budaya
Memahami aspek ilmu-ilmu sosial dan bahasa Indonesia dalam bidang hospitaliti dan pariwisata dengan baik
2.
Penguasaan Ilmu dan Keterampilan
Menguasai ilmu-ilmu dasar, eksakta, manajemen dan bisnis industri hospitaliti dan pariwisata
Menguasai bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional dalam memahami buku teks,metode penelitian dal ilmu pendukungnya
Memahami dasar ilmu hospitaliti dan pariwisata, manajemen baik pemasaran, keuangan, operasi dan sumber daya manusia untuk mendasari pemanfataan ilmu dan keterampilannya tersebut di masyarakat
3.
Keahlian berkarya
Mampu menganalisis persoalan danperkembangan industri hospitaliti dan pariwisata dalam menghadapi era globalisasi
Menguasai keahlian dalam memberikan pelayanan kepada kastemer baik lokal maupun internasional, komunikasi manajemen dalam bisnis skala kecil, menengah dan multinasional

4.
Perilaku berkarya
Mampu mengaplikasikan ilmu-ilmu hospitaliti dan pariwisata di industri maupun masayarakat umum, perdagangan internasioan maupun lembaga-lembaga pemerintahan
Memahami dan mengaplikasikan ilmu hospitaliti dan pariwisata, pemasaran, manajemen, keuangan dan sumber daya manusia
Memahami cara-cara pemanfaatan sumber daya hospitaliti dan pariwisata dan ilmu manajemen terapan
5.
Kehidupan Bermasyarakat
Mampu mengaplikasikan ilmu-ilmu hospitaliti dan pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat, daya saing bangsa dan bernegara
Memahmi perilaku kastemer secara luas, serta aspe-aspek lain dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan



7 Simpulan dan Tindak Lanjut
7.1 Simpulan
Berdasarkan berbagai pandangan dan masukan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa tidak ada perdebatan lagi untuk meyakini pariwisata sebagai disiplin ilmu mandiri; ditinjau dari syarat-syarat keilmuan baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis;
2. Pohon ilmu pariwisata berakar pada ilmu-ilmu agama, budaya, sosial, budaya, ilmu pasti, dan ilmu ekonomi. Dari pohon ilmu pariwisata, untuk sementara diusulkan tiga cabang yaitu pengembangan jasa usaha wisata, organisasi perjalanan dan kebijakan pembangunan pariwisata. Selanjutnya cabang atau ranting dapat dikembangkan ber­dasarkan klaster/kelompok/sektor yang berkembang seba­gaimana lingkup perkembangan industri.
3. Strategi untuk memperoleh legitimasi pengakuan ilmu pariwisata mandiri dengan cara mengajukan lebih dari satu program studi S1 pariwisata disertai dengan presentasi status keilmuan pariwisata di depan kelompok pakar.
4. Apabila mengusulkan perubahan bentuk kelembagaan menjadi institute, maka nama yang disepakati adalah INSTITUT PARIWISATA XXX (bukan institut ilmu pariwisata) dengan gelar lulusan Sarjana Pariwisata (S.Par), Magister Pariwisata (M.Par) dan Doktor (Dr.), masing-masing untuk S1, S2 dan S3.
5. Perlu disusun dan disepakati kompetensi lulusan program Sarjana Pariwisata berikut kurikulum yang mengacu kepada kompetensi lulusan;
7.2 Saran Tindak Lanjut
Untuk memperoleh pengakuan atas kemandirian ilmu pariwisata, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Koordinasi antar instansi di bawah Depbudpar yang akan membuka program S1 Pariwisata, sekaligus dengan pemangku kepentingan lainnya seperti Hildiktipari;
- Menghimpun lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sudah siap, untuk secara bersama-sama mengajukan program S1 Pariwisata, saat ini Universitas Indonesia akan membuka S1 Pariwisata agar menjadi bagian dari perjuangan dari usaha untuk memperoleh legitimasi pariwisata sebagai ilmu mandiri;
- Perlu pembahasan untuk memperoleh kesepakatan Standar Kompetensi Lulusan Program Sarjana Pariwisata termasuk kurikulum minimal.
- Diusulkan gelar S.Par untuk lulusan Sarjana S1 Pariwisata, M.Par untuk lulusan Magister Pariwisata dan Dr. untuk lulusan S3 Pariwisata;
- Penyusunan kompetensi lulusan, seyogyanya mengacu pada ketentuan yang sudah ada, dengan memperhatikan kepentingan pihak pemangku kepentingan (stakeholder);
[1] Final Report Tim 9, Workshop Pariwisata sebagai disiplin Ilmu Mandiri, 24 Agustus 2006.
[2] Ibid. hal. 13
[3] Rapat Koorndinasi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Pendidikan Nasional dan Hildiktipari
[4] Kusmayadi, 2003. Laporan Evaluasi Kurikulum STP Trisakti 1999.
[5] Kusmayadi. 2004. Rancangan Kurikulum STP Trisakti 2005.
[6] Dikti. 2004, Sosialisasi Penyusunan KBK

Monday, 9 June 2008

Tourism as A science

Konsepsi Terminologi Industri Hospitaliti dan Pariwisata
Pemahaman atas istilah hospitaliti dan pariwisata seringkali disan­dingkan secara bersamaan, yang mengandung konotasi seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pada subab ini akan didiskusikan kedua istilah tersebut agar diperoleh pemahaman yang sama terhadap keduanya.


Terminologi Hospitaliti
Istilah industri hospitaliti dan pariwisata diadopsi dari hospitality and tourism industry yang dalam berbagai literatur mengacu pada bisnis berbagai jasa khusunya pariwisata. Walaupun belum menjadi istilah baku dalam bahasa Indonesia, istilah hospitality and tourism industry, dialihbahasakan ke dalam istilah industri hospitaliti dan pariwisata, yang mungkin belum lazim digunakan, namun pada kenyataannya di lapangan banyak kalangan meng­gu­nakan terminologi tersebut. Untuk kegiatan komersial, para ekonom menggunakan istilah industri hospitaliti dalam konteks hospitality industry atau hospitality sector, sebagai pentuk jasa pelayanan atau service.
Argumentasi yang sangat logis telah diuraikan oleh tim STP Bali (2008) mengenai Hospitaliti sebagai Ilmu[1]. Hospitaliti dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya sosial, pribadi (private), komersial, industri, korporat dan venue. Secara umum, hospitaliti merupakan inter­aksi antara tuan rumah (hosts) dengan tamu (guests) pada saat yang bersamaan mengkonsumsi makanan/minuman dan akomodasi. Dengan pendekatan sosial yang mendasar dari hospitaliti adalah membangun realsi materi dan simbolik antar tuan ruman dengan tamu pada tingkat sosial yang sama. Dari pendekatan pribadi, hospitaliti merupakan penyediaan makanan dan minuman serta akomodasi untuk tamu dengan genuine concerne untuk mencapai happiness. Sementara itu, dari pendekatan komersial, hospitaliti berperan untuk entertain dalam konteks bisnis yang mengandung perhitungan untung rugi.
Di dalam Conciere Oxford Dictionary, hospitality didefinisikan sebagai kata friendly yang artinya ‘ramah’ yang murah hati atau dermawan dan memberikan hiburan kepada tamu atau orang baru. Kadang-kadang sering digunakan untuk memberikan perlakuan istimewa terhadap tamu yang tinggal dan menggunakan fasilitas keramah-tamahan. Adapun industri hospitaliti dapat diartikan sebagai perusahaan yang terlibat dalam penyediaan jasa untuk tamu.
....hospitality industry as “all companies involved in providing services for guests (hotels, inns, restaurants, and other recreational activities)” Horner and Swarbooke (1996).
Untuk membuat keramahan, harus diberikan ucapan selamat datang dan hiburan bagi orang baru atau tamu. Ucapan selamat datang dalam bahasa Inggris adalah ‘welcome’ yang diambil dari kata ‘wilcuma’ (Old English) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai orang yang mempersilahkan orang datang. Istilah lain termasuk padanan hospitality adalah graciousness, courtesy, friendliness, cordiality, sociability, dan generosity.
Dari sekian banyak istilah untuk hospitality, Baker dan Jeremy (2001) mendefinisikan hospitality sebagai berikut:
Hospitality a commercial contract to enter into service relationship that involves supplying the amenities, comforts, conveniences, social interactions, and experiences of shelter and entertainment that a guest or customer values
Pariwisata (Tourism)
Istilah Pariwisata dialihbahasakan dari tourism yang mengandung berbagai pengertian. Pengertian dari McIntosh dan Goldner (1998) diterjemahkan secara bebas mengandung pemahaman atas interaksi antara wisatawan, pelaku industri jasa untuk melayani wisatawan, pemerintah dan penduduk lokal. Pemahaman diperoleh dari pengertian pariwisata sebagai:
“.....kajian tentang orang-orang yang pergi dari tempat dimana ia biasanya tinggal, tentang serangkaian fenomena dan hubungan yang muncul dari interaksi antara wisatawan, bisnis, pemerintah dan komunitas lokal dalam proses menarik dan menerima para wisatawan serta pengunjung lain, tentang industri yang merespon kebutuhan wisatawan, serta tentang dampak yang diakibatkan oleh industri maupun orang-orang tersebut terhadap sosial budaya setempat“
Definisi paling populer dari istilah pariwisata adalah:
“..... suatu perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain, untuk sementara waktu, dilakukan lebih dari 24 jam, dengan tujuan untuk bersenang-senang tanpa mencari nafkah di tempat yang dikunjungi”
Dari definisi ini, pariwisata mengandung pemahaman bahwa:
a Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain (from one place to another place) pengertiannya perjalanan itu bukan dilakukan di kota di mana orang itu biasanya tinggal, tetapi harus melewati perbatasan kota, atau negaranya sendiri dengan kota atau negara lain.
a Perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu, dan harus lebih dari 24 jam.
a Perjalanan itu tujuannya semata-mata untuk bersenang-senang (travel for pleasure).
a Perjalanan itu tidak dikaitkan dengan usaha mencari pekerjaan yang di dibayar oleh negara yang dikunjunginya.

Dari kedua pengertian di atas, jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar, namun esensi dari karakter industrinya mengandung berbagai persamaan, sehingga industri hospitaliti dan pariwisata seringkali disan­dingkan menjadi satu industri. Untuk lebih memahami industri hospitaliti dan pariwisata kita pelajari pada subab ruang lingkup di bawah ini.
Ruang Lingkup Industri Hospitaliti dan Pariwisata
Dari sudut pandang ekonomi, industri diartikan sebagai suatu grup atau individu yang secara independen menghasilkan suatu produk (Davidson, 1994) baik yang bersifat tangible maupun intangible (Kotler, 2000). Industri juga menekankan adanya revenue yang dipe­roleh, serta menghasilkan dan menjual suatu produk yang dihasilkan tersebut. Bila ditinjau dari pemahaman di atas, maka pariwisata merupakan industri yang memiliki perspektif sangat luas di dalam kegiatan ekonomi, karena dapat menghasilkan pendapatan, nilai tambah, capital invesment, penciptaan lapangan kerja maupun pajak (Theobald, 1994; Davidson, 1994). Menurut Seth (2000) industri pariwisata dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu:

a direct provider of service, yaitu provider yang secara langsung memberikan service terhadap wisatawan. Contoh kategori ini adalah airline, hotel, transportasi, restoran dan cinderamata.
a support service to direct suplier, yang termasuk ke dalam kategori ini antara lain adalah tour organizer, laundry, kontraktor catering, travel publication,
a developmental organisation, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah pengembang pariwisata seperti perencana, institusi keuangan, institusi pendidikan dan lain-lain.

Pendapat lain dari Jackson (1998), menyebutkan bahwa:
“... the tourism industry encompasses all activities by individuals, companies or organisations which supply, directly or indirectly, goods or services to tourists at their destinations”
Sementara itu, Eurostat (1998) mendefinisikan industri pariwisata sebagai:
Tourism comprises the activities of persons travelling to and staying places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes.
Adapun Tourism Satellite Account (TSA) mendefinisikan “…tourism industries as all establishments whose principal productive activity is a tourism characteristic activity”.
Untuk kepentingan klasifikasi, World Tourism Organization (WTO) mengem­bangkan Standard International Classification of Tourism Activities (SICTA) yang dipadankan atas Standard Industrial Classification of all Economic Activities (ISIC). Di samping itu, ditetapkan pula pengkla­sifikasian Tourism Characteristic Product (TCP) yang mengacu pada pengkodean yang digunakan oleh UN Central Product Classification (CPC). Di dalam CPC, industri pariwisata terdapat pada tujuh kelompok besar (WTO, 2000) yaitu:

1. accomodation services. Industri ini meliputi jasa hotel dan motel, pusat liburan dan home holiday service, jasa penyewaan furniture untuk akomodasi, youth hostel service, jasa training anak-anak dan pelayanan kemping, pelayanan kemping dan caravan, sleeping car service, time-share, bed and breakfast dan pelayanan sejenis.
2. food and beverage-serving services. Yang termasuk ke dalam industri adalah full-restoran dan rumah makan, kedai nasi, catering service, inflight catering, café, coffee shop, bar dan sejenis yang menyediakan makanan dan minuman bagi wisatawan.
3. passenger transport services. Yang termasuk kelompok ini antara lain jasa angkutan darat seperti bis, kereta api, taxi, mobil carteran; jasa angkutan perairan baik laut, danau, maupun sungai meliput jasa penyeberangan wisatawan, cruise ship dan sejenisnya. Dan terakhir adalah jasa angkutan udara melalui perusahan-perusahaan airlines. Di samping itu, sector pendukung antara lain navigation and aid service, stasion bis, jasa pelayanan parker penumpang, dan lainnya.
4. travel agency, tour operator and tourist guide services. Yang termasuk kepada kelompok ini antara lain, agen perjalanan, konsultan perjalanan, biro perjalanan wisata, pemimpin perjalanan dan yang sejenis.
5. cultural services. Jasa pagelaran tari dan fasilitas pelayanan tarian, biro pelayanan penari dan sejenisnya. Jasa pelayanan museum kecuali gedung dan tempat bersejarah, pemeliharaan gedung dan tempat bersejarah, botanical and zoological garden service, pelayanan pada perlindungan alam termasuk suaka margasatwa.
6. recreation and other enter­tainment services. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pelayanan olah raga dan olah raga rekreasi, pelayanan golf course, ski, sirkuit balapan, taman rekreasi dan pelayanan pantai. Pelayanan taman bertema, taman-taman hiburan, pelayanan pameran dan sejenisnya.
7. miscellaneous tourism services. Yang temasuk kelompok ini adalah jasa keuangan, asuransi, tempat penukaran mata uang dan yang sejenis.

Demikian luasnya cakupan pariwisata, maka tidak ada alasan untuk me-nafi-kan pariwisata sebagai industri, dan merupakan argumen kuat untuk men­jadikan pariwisata sebagai alat atau pendekatan dalam pembangunan setiap sektor.
Dalam kaitan dengan hospitaliti dan pariwisata, Baker dan Jeremy membagi kedua area tersebut pada tiga kategori yaitu, hospitaliti dan pariwisata secara sendiri-sendiri, dan keduanya secara bersamaan. Pertautan ke dua industri tersebut seperti ilustrasi pada Gambar 2.



Gambar 2. Hospitality and Tourism (Baker and Jeremy, 2001)
Secara tersendiri, industri hospitaliti meliputi bisnis penyediaan fasilitas akomodasi baik yang sifatnya long-stay maupun short stay dan katering. Jenis-jenis bisnis akomodasi yang sifatnya short stay antara lain hotel, motel/losmen, home-stay, boarding-house. Adapun yang sifatnya long-stay terdiri atas villa peristirahatan, kondominium, dan apartemen. Area kedua hospitaliti adalah katering untuk kebutuhan institusi rumah sakit, kafetaria sekolah, rumah tahanan dan sejenisnya.
Area yang merupakan pertautan antara industri hospitality and tourism meliputi (1) hotel/motel, (2) taman karavan, (3) bed & breakfast (4) holiday units, (5) resort (6) restaurant, (7) convention centers, (8) casinos dan (9) cruise ship (kapal pesiar). Dengan demikian, bisnis akomodasi dapat digunakan untuk kedua area karena merupakan perpaduan antara industri hospitaliti dan industri pariwisata.
Pelayanan makanan dan minuman, merupakan bagian dari kedua industri di atas yang meliputi:
a restoran yang berdiri sendiri,
a outlet makanan dan minuman yang merupakan bagian dari bisnis lain seperti hotel, club, banquet, tempat function,
a institusi lain termasuk kegiatan komersial, dan industri jasa boga.

Kategori industri pariwisata adalah jasa yang berhubungan dengan industri hospitaliti di atas (akomodasi, bisnis makanan dan minuman) dan bisnis yang melayani dan menangani wisatawan seperti biro dan agen perjalanan, tour operator, serta layanan transportasi.
Secara lebih sederhana, Walker (2002) mengajukan payung industri hospitaliti dan pariwi­sata menjadi empat kategori yaitu (1) travel, (2) recreation, (3) lodging dan (4) food service. Travel dan recreation merupakan bagian dari industri pariwisata sedangkan lodging dan food service merupakan industri hospitaliti. Dari keempat industri tersebut saling berkaitan satu sama lain di bawah satu payung sehingga keduanya dapat dipertautkan (Gambar 3).

Gambar 3. Lingkup Industri Hospitaliti dan Pariwisata (Walker, 2002)
Berdasarkan jenisnya, Lunberg dkk. (dalam Yusuf, 1997) menyebutnya sebagai binsnis kepariwisataan, yang terdiri atas: (1) restoran, (2) penginapan (3) transportasi (4) pengembangan destinasi (5) riset perjalanan (6) kantor pemerintahan (7) pelayanan perjalanan (8) atraksi wisata (9) fasilitas rekreasi dan lain-lain seperti pada Gambar 4.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa bisnis riset perjalanan merupakan bagian dari bisnis pariwisata yang menyediakan jasa dan layanan konsultansi. Kegiatan utamanya adalah menyediakan informasi yang diperoleh melalui pengumpulan baik data primer maupun data sekunder. Bisnis ini sangat membantu dalam menyediakan data dan informasi bagi pengambilan keputusan manajerial.
[1] STP Bali: Proposal Pembukaan Program Sarjana (S1) Pariwisata, Program Studi Bisnis Hospitaliti